Melansir Kompas.com, pada zaman Heian (741-1191) origami diduga digunakan sebagai penutup botol sake (arak) ketika upacara penyembahan di kalangan kaum biksu Shinto.
Pada masa tersebut, origami masih dikenal dengan istilah orikata atau origata, orisui, atau orimino.
Pada periode perkembangan selanjutnya, origami dijadikan alat untuk memisahkan masyarakat golongan kelas atas dan kelas bawah. Pasalnya, saat itu harga kertas masih sangat mahal dan hanya mampu dimiliki oleh orang kaya, yang bisanya digunakan untuk ritual keagamaan dan upacara pernikahan.
Seni origami menggunakan kertas asli Jepang yang disebut washi dan masih menjadi bagian penting pada upacara adat keagamaan Shinto, hingga sekarang. Perkembangan dari masa ke masa membuat origami begitu identik dengan budaya Jepang dan diwariskan secara turun-temurun.
Pada 1680, sebuah puisi pendek karya penyair dan novelis Ihara Saikaku, mengindikasikan bahwa origami merupakan budaya melipat kertas di Jepang yang telah tertanam dari generasi ke generasi. Salah satu buku seni origami paling awal adalah Tsutsumi-no Ki (1764) karya Sadatake Ise, yang berisi cara melipat kertas untuk dekorasi seremonial, dan Sembazuru Orikata (1797) karya Akisato Rito, yang berisi tutorial melipat burung bangau dari selembar kertas.
Pada zaman Edo (1603-1868), origami telah menyebar lebih meluas di masyarakat Jepang berkat turunnya harga kertas washi. Kemajuan ini memunculkan praktik seni membungkus hadiah, membuat amplop atau dompet kertas (tato), dan melipat surat. Akira Yoshizawa, Bapak Origami Modern Akira Yoshizawa adalah tokoh yang membangkitkan minat nasional dan internasional terhadap seni origami, hingga disebut sebagai Bapak Origami Modern.