Dikatakan, mereka tidak hanya tinggal diam tapi juga memilih untuk bangkit bahkan memimpin di komunitasnya masing-masing. Ini sebenarnya bentuk nyata dari agenda Woman Peace Security atau perempuan perdamaian keamanan.
Menurut Oci sapaan akrabnya, ini sebenarnya realitas sehari-hari yang ada di komunitas di desa kita di dapur umum, bahkan di forum-forum lintas agama tentang Women Peace and Security (WPS) itu sendiri.
“Ada desakan kuat dari organisasi perempuan dengan jaringan aktivis Global untuk mendorong dunia mengakui peran-peran penting perempuan dalam perdamaian. Pada saat itu PBB mulai mengakui dan melihat dari konflik bersenjata. Kekerasan seksual massal di Bosnia, di Ruanda, saat itu ribuan perempuan jadi perkosaan sistimatis yang sebenarnya dipakai juga sebagai senjata perang,” ujarnya.
Kata Oci, Perempuan dalam kelompok besar di pengungsian kehilangan layanan dasarnya, seringkali jadi kepala keluarga tunggal. Ini memaksa dunia melalui PBB mengakui bahwa perempuan menjadi korban spesifik dalam perang karena itu perlu mereka perlu diberikan peran dan perlu di lindungi dalam agenda perdamaian itu yang mendorong lahirnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325.
Ada 4 hal tambahnya, yaitu pencegahan, perlindungan, partisipasi dan pemulihan, tapi satu hal kita perlu kitagarisbawahi perempuan tidak hanya dipandang sebagai korban, hanya terkadng bicara s[esifik terkadang perempuan terabaikan didalam proses negoisasi perdamaian atau penyelesaian konflik.