Terlebih, terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, terdapat juga kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.
Dalam konteks-konteks lainnya, masyarakat percaya bahwa mereka dapat atau boleh mengabaikan kebutuhan untuk memohon berkat Allah, menilainya sebagai sesuatu yang dangkal bagi manusia dan masyarakat sipil.
Sebaliknya, mereka memajukan usaha-usaha mereka sendiri, tapi kerap kali hal ini mengantar mereka kepada pengalaman frustrasi dan kegagalan. Meski demikian, ada masa-masa ketika iman kepada Allah terus menerus diletakkan di garis depan, tapi sayangnya dimanipulasi untuk menciptakan perpecahan dan meningkatkan kebencian, dan bukan untuk memajukan perdamaian, persekutuan, dialog, rasa hormat, kerja sama dan persaudaraan.
Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang disebutkan di atas, adalah sesuatu yang memberanikan bahwa falsafah yang menuntun ketatanegaraan Indonesia sungguh seimbang sekaligus bijaksana. Terkait hal ini, saya ingin menjadikan kata-kata dari Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya tahun 1989 di istana ini sebagai perkataan saya.