Scroll untuk baca artikel
Link Banner
Link Banner
BeritaNasionalSeni & BudayaUtama

Polemik Royalti Musik

13
×

Polemik Royalti Musik

Sebarkan artikel ini
Royalti Musik - ILUSTRASI (Int)

Melansir Tempo.co, dalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yang kemudian ditegaskan lagi “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. Tapi mari kita lihat perbedaannya.

Sistem Ekonomi Sosialis

  1. Karya seni dianggap bagian dari kekayaan bersama untuk kepentingan rakyat.
  2. Royalti tidak dibebankan langsung kepada masyarakat, tapi diatur negara untuk menjamin keadilan dan akses budaya yang merata.
  3. Negara akan memastikan semua pihak, termasuk musikus dan pelanggan, terlindungi.

Sistem Ekonomi Kapitalis

  1. Setiap karya seni diperlakukan sebagai komoditas ekonomi.
  2. Pemilik hak (pencipta lagu dan produser) berhak penuh menarik royalti dari siapa pun yang memanfaatkannya.
  3. Pelanggan boleh dibebani secara langsung karena prinsipnya adalah “siapa menikmati, dia membayar”.
Baca Juga  Pelaku Usaha dan Seniman di Solo Mendesak LMKN Dibubarkan

Sistem Ekonomi Pancasila

  1. Negara menyeimbangkan hak individu pencipta lagu dengan kepentingan umum masyarakat.
  2. Royalti tetap dibayar, tapi tidak dibebankan langsung secara terpisah kepada konsumen karena tujuan pemutaran musik di restoran adalah bagian dari layanan usaha, bukan permintaan konsumen. Pelanggan datang untuk makan, bukan menyewa lagu.
  3. Royalti menjadi beban pengelola usaha yang sudah diperhitungkan dalam harga jual, tidak perlu ditagih secara eksplisit kepada konsumen.
  • Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, meski dalam praktiknya terkadang unsur kapitalisme lebih dominan. Indonesia mencoba menyeimbangkan keduanya lewat sistem ekonomi Pancasila, tapi implementasinya masih terus dikritik agar tetap mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • Arah kebijakan royalti saat ini cenderung kapitalistik jika kita menilai dari pembebanan royalti kepada konsumen. Ini bertentangan dengan semangat ekonomi Pancasila yang seharusnya melindungi hak musikus secara adil, tapi tidak membebani rakyat sebagai konsumen secara langsung.
Baca Juga  Wali Kota Ambon Imbau Warga Hunuth yang rumahnya Tidak Terbakar Kembali Ke Rumah Masing-masing

Tepatkah Royalti Musik Dibebankan kepada Konsumen?

Jawabannya tegas: tidak tepat. Dalam pembahasan panjang tentang royalti musik dan lagu belakangan ini, prinsip kapitalis yang terlihat seolah-olah “siapa yang menggunakan musik dan lagu, dia yang membayar”. Padahal, dalam praktik royalti musik, yang membayar royalti adalah pihak yang menggunakan musik secara komersial.

Penyelenggara acara seperti konser musik atau pengelola tempat usaha seperti kafe, restoran, dan hotel yang memutar lagu serta musik untuk menarik pelanggan/konsumen adalah pengguna, sehingga mereka wajib membayar royalti kepada pemegang hak cipta melalui LMK.

Secara teknis, pengelola membayar royalti atas keuntungan yang diperoleh dari pendapatan mereka. Royalti tidak dibebankan secara langsung kepada konsumen. Dalam praktik bisnis, biaya royalti seharusnya masuk harga tiket konser, harga makanan dan minuman, atau biaya layanan. Dengan demikian, secara tidak langsung konsumen ikut membayar, bukan pembebanan biaya royalti musik dan lagu secara terpisah. Ini hal yang umum dilakukan di banyak negara. Lagu dan musik yang diputar oleh pengelola usaha adalah upaya menarik konsumen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *