“Selama ini KTP kami tertulis Hindu, padahal kami bukan Hindu. Di sekolah anak-anak kami hanya diberikan pilihan pelajaran agama Islam atau Kristen,” ungkap Aharena Matoke saat Konferensi Pers ICIR 6 di IAKN Ambon (23/10).
Sehari sebelumnya, Selasa (22/10), dalam diskusi terbatas bertema media dan masyarakat adat, yang masih dalam rangkaian ICIR 6 di IAKN Ambon, Alfika Mamalango dari ADAT Musi, Talaud, menyampaikan bahwa dampak dari KTP mereka yang tertulis bukan salah satu dari 6 agama besar di Indonesia membuat mereka kesulitan untuk mendapat pekerjaan.
“Kolom agama di KTP kami tertulis bukan dari 6 agama itu, lalu ketika ada dari warga ADAT Musi mendaftar TNI dan Polri, mereka ditolak, tidak bisa menjadi TNI atau polisi,” kata Alfika menyesalkan.
Masyarakat adat dan penghayat agama leluhur menghadapi perampasan lahan dan berbagai bentuk penyempitan ruang hidup yang membuat mereka menjadi sangat rentan. Mereka sulit sekali mengakses sumber daya alam, mempertahankan tempat-tempat ritual yang sakral, dan mendapatkan hewan untuk ritual adat yang sebelumnya berlimpah.
Akibat proses-proses penyingkiran tersebut, generasi muda kalangan masyarakat adat di Maluku maupun Mentawai mengalami krisis identitas dan pelan-pelan berdampak pada hilangnya “bahasa ibu” mereka.