Topan memang bukan sosok asing dalam lingkaran kekuasaan Bobby. Sebelum menjabat Kepala Dinas PUPR, ia memimpin Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Konstruksi Kota Medan saat Bobby masih menjabat wali kota. Hanya empat hari setelah Bobby dilantik sebagai gubernur, Topan langsung diangkat ke posisi strategis tersebut. Karena kedekatannya dengan Sang Gubernur, Topan bahkan dijuluki “ketua kelas” oleh kalangan birokrat lokal.
Relasi yang begitu erat tentu memicu pertanyaan penting—meski beberapa pihak mungkin pura-pura tak paham. Apakah Bobby benar-benar tidak mengetahui penyimpangan di balik proyek senilai ratusan miliar rupiah itu? Apalagi proyek yang kini menjadi obyek penyidikan KPK pernah mereka kunjungi bersama, lengkap dengan kontraktornya. Sekadar kebetulan? Sulit dipercaya.
Penyidik KPK seharusnya tak ragu membuka ruang pemeriksaan lebih luas. Pasal yang dikenakan kepada Topan menyebut adanya “janji hadiah karena jabatan”. Sulit membayangkan seorang kepala dinas memainkan proyek ratusan miliar rupiah tanpa sepengetahuan siapa pun di atasnya.
Yang makin jelas, kasus ini kembali memperlihatkan betapa proyek infrastruktur memiliki celah lebar bagi praktik korupsi. Nilainya besar, prosesnya rumit dan teknis, sementara pengawasannya longgar. Tak mengherankan, KPK saban tahun selalu punya “koleksi” baru kepala daerah yang tergelincir dalam proyek jalan, jembatan, atau gedung pemerintahan.