Lebih jauh, argumentasi bahwa penambangan nikel merupakan jalan keluar untuk Indonesia menjadi pemain penting dalam industri global baterai harus dibaca secara jernih. Betul bahwa permintaan nikel melonjak seiring transisi energi dunia. Namun model hilirisasi kita sejauh ini lebih banyak menguntungkan investor besar ketimbang memperkuat struktur ekonomi lokal. Jika korporasi tambang mendapat karpet merah, sementara masyarakat hanya mendapat janji kerja dan kompensasi yang tidak sepadan, maka pembangunan ini tak ubahnya kolonialisme baru—berwajah modern.
Raja Ampat adalah ujian moral dan politik bagi pemerintah. Apakah kita benar-benar ingin memimpin dalam transisi energi berkeadilan? Ataukah kita hanya akan menjadi eksportir bahan mentah lain yang rela kehilangan hutan, laut, dan warisan leluhur untuk sesaat keuntungan?
Jika Raja Ampat gagal diselamatkan, maka bukan hanya satu kawasan hilang, melainkan juga kepercayaan publik bahwa negara berpihak pada masa depan ekologis. Perlu ada jeda kebijakan. Sebelum semua izin dikeluarkan, sebelum semua konsesi dilanjutkan, negara wajib membuka ruang evaluasi publik yang melibatkan akademisi, masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan otoritas adat Papua. Tanpa itu, maka klaim pemerintah soal pembangunan hijau hanya akan tinggal jargon yang kehilangan akar. (***) Sumber : SERGAP