Greenpeace Indonesia pada Mei 2024 merilis laporan visual dan peta konsesi tambang yang menggambarkan hampir seluruh daratan Pulau Kawe telah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasi nikel. Kampanye #SaveRajaAmpat pun menggema luas di media sosial, menandai perlawanan digital terhadap ekspansi tambang di kawasan konservasi laut dan pesisir ini.
Pernyataan publik terkait proyek tambang di Raja Ampat sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Bahlil Lahadalia, saat masih menjabat sebagai Menteri Investasi atau Kepala BKPM. Ia menyebut bahwa aktivitas tambang dijalankan dengan pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal. Kini ia menjabat sebagai Menteri ESDM lembaga pemberi izin itu sendiri. Maka, publik tentu menaruh harapan dan kecurigaan sekaligus, akankah prinsip kehati-hatian ditegakkan ataukah izin tetap mengalir?
Penelitian oleh Universitas Papua (2021) dan studi WALHI Papua Barat (2022) menyebutkan bahwa lemahnya tata kelola pertambangan di wilayah ini ditandai oleh minimnya partisipasi masyarakat adat, rendahnya transparansi dalam proses perizinan, serta konflik tenurial yang tidak diselesaikan secara adil. Dalam konteks Raja Ampat, semua gejala ini sedang berulang.