Titi Anggraini, pakar hukum tata negara dan aktivis demokrasi dari Universitas Indonesia, sudah beberapa kali mengkritik penyelenggaraan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Dia juga sebelumnya terafiliasi dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
“Masyarakat yang kritis dan berani bersuara atas kinerja pemerintahnya menjadi pertanda bahwa iklim demokrasi masih sehat,” ujar Titi ketika dihubungi pada Rabu (02/04).
“Jika pemerintah merasa suara rakyat sebagai gangguan yang meresahkan, maka hal itu perlu diwaspadai sebagai tanda munculnya kekuasaan yang otoriter.”
Titi memberi contoh ketika para pengamat mengkritisi pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden yang berujung pada kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2023.
“Kritik pengamat pada hal itu bukan sesuatu yang tidak beralasan,” ujar Titi.
Menurut Titi, hampir semua lembaga internasional yang melakukan pengukuran indeks kinerja demokrasi menyebut putusan MK yang mengubah syarat usia dalam pencalonan sebagai intervensi terhadap MK dan bentuk pelanggengan politik dinasti. “Hal itu dikonfirmasi oleh The Economist Intelligence Unit maupun V-Dem Institute,” ujar Titi.
Laporan Varieties of Democracy Institute (V-Dem Institute) tahun 2024 menyatakan Indonesia berada di “zona abu-abu” demokrasi elektoral di tengah melemahnya kebebasan sipil dan kontrol keseimbangan kekuasaan.