Menanggapi persoalan data ini, Amalinda dari UGM mengatakan tidak selamanya data itu netral.
“Ada yang disebut ‘politik pengetahuan’, dimana pengetahuan dan data seringkali disesuaikan dengan kebutuhan penguasa,” ujar Amalinda.
Amalinda mengingatkan klaim Luhut pada tahun 2022 tentang “big data” yang disebutnya mengindikasikan banyak yang setuju pemilu ditunda.

Meskipun sikap pemerintah semakin abai terhadap kritikan, baik Bivitri maupun Amalinda berharap masyarakat—termasuk para pengamat—tetap bersuara.
“Justru dengan karakter pemerintahan seperti ini, kita tidak boleh kemudian jadi mengabaikan diri sendiri. Kita justru ‘melawannya’ dengan terus-menerus bicara. Dengan begitu, paling tidak, kita memelihara orang-orang yang masih punya akal sehat dan rasionalitas,” ujarnya.
“Saya yakin masih banyak sekali di Indonesia. Cuma mereka semua nggak ada yang berani bersuara keras, dan langsung takut gitu.”
“Jadi nanti ketika ada pemilu lagi, ketika dibutuhkan kritik yang lebih besar, seperti 1998 dulu, lapisan yang ini tetap punya rasionalitas.
Sementara Amalinda dari UGM menekankan kepada masyarakat agar senantiasa menuntut hak mereka dalam berpendapat demi merawat demokrasi.
“Di sini juga ujian buat warga negara untuk terus keras kepala melakukan apa yang sudah dijamin oleh Konstitusi. Jadi, meski ada tekanan dari penguasa, tetaplah terus suarakan pendapat. Karena ini hak warga negara,” ujar Amalinda.