Koordinator Aksi Aldy Manuputty dalam orasinya menyebutkan, tepat 9 tahun lalu, 26 September 2015, Salim Kancil, petani di Lumajang, Jawa Timur dibunuh oleh negara karena menolak ruang hidupnya dihancurkan oleh korporat yang dibantu negara.
Menurut laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yakni sepanjang tahun 2021-2024 terdapat 290.337 Ha lahan konflik agraria. Konflik Agraria serupa juga terjadi di Maluku. Masyarakat di Dusun Pohon Batu, Seram Bagian Barat (SBB) saat ini masih berjuang melawan PT. Spice Island Maluku (SIM) yang ingin merampas ruang hidup mereka untuk dibuat perkebunan Pisang Abaka.
Bahkan 2 warga Dusun Pohon Batu meninggal dalam proses perjuangan menolak PT. SIM. Kemudian Masyarakat Adat di Pulau Buru yang sedang berjuang melawan PT. Ormat Geothermal Indonesia yang ingin membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang sangat rakus air dan akan merusak ruang hidupnya.
Di Pulau Seram bagian tengah Masyarakat Adat di Pegunungan Seram Utara telah terusik dengan kehadiran Taman Nasional Manusela yang merampas Tanah Ulayat mereka sejak tahun 1997. Masyarakat di pesisir Seram Selatan juga telah diusik dengan pemasangan patok batas Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di kebun-kebun milik mereka.