Dengan suhu yang diperkirakan mencapai 40 derajat Celsius (104 derajat Fahrenheit) pada hari Senin, pasien berbaring di brankar di tempat parkir rumah sakit, banyak di antaranya hanya mengenakan terpal tipis untuk melindungi mereka dari terik matahari tropis. Para kerabat berusaha semaksimal mungkin untuk menghibur mereka, berpegangan tangan atau melambaikan kipas bambu di atas mereka.

“Ini adalah kondisi yang sangat, sangat tidak sempurna bagi semua orang,” kata seorang petugas medis, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. “Kami berusaha melakukan apa yang kami bisa di sini. Kami berusaha sebaik mungkin.”
Cuaca panas yang menyengat telah melelahkan para petugas penyelamat dan mempercepat pembusukan tubuh, yang dapat mempersulit identifikasi. Namun lalu lintas mulai kembali ke jalan-jalan Mandalay pada hari Senin, dan restoran serta pedagang kaki lima kembali beroperasi.
Ratusan umat Muslim berkumpul di luar masjid yang hancur di kota itu untuk melaksanakan salat Idul Fitri pertama, hari raya setelah bulan puasa Ramadan. Gempa susulan mengguncang Mandalay selama akhir pekan, beberapa kali menyebabkan penduduk berlarian ke jalan dalam momen panik singkat.
Krisis kemanusiaan Tantangan yang dihadapi negara Asia Tenggara berpenduduk lebih dari 50 juta orang itu sangat besar bahkan sebelum gempa bumi. Myanmar telah dilanda perang saudara selama empat tahun yang dipicu oleh kudeta militer pada tahun 2021, yang mengakibatkan ekonominya hancur dan layanan kesehatan serta infrastrukturnya rusak parah.