Namun, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah keberlanjutan. Literasi digital tidak cukup hadir dalam bentuk seminar atau sosialisasi satu arah.
Ia perlu dilembagakan dalam kurikulum lokal, didukung anggaran, dan dijadikan bagian dari indikator pembangunan sumber daya manusia Kota Ambon.
Jika tidak, kegiatan ini akan mudah hilang dalam rotasi agenda tahunan. Di sisi lain, literasi digital yang dimaksud tidak hanya terbatas pada kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup aspek etika digital, keamanan data pribadi, hingga kemampuan memilah informasi di tengah derasnya disinformasi.
Literasi semacam ini membutuhkan pendekatan pedagogis yang sistemik dan berkelanjutan.
Langkah Pemkot Ambon bisa menjadi preseden penting bagi daerah-daerah lain di kawasan timur Indonesia. Namun keberhasilan jangka panjangnya akan sangat ditentukan oleh kemauan politik, dukungan kebijakan pendidikan, serta konsistensi kelembagaan.
Jika Ambon serius menanamkan ketahanan digital dari level pelajar, maka inisiatif ini bukan hanya menjadi program teknokratis, tapi juga ikhtiar membentuk warga digital yang kritis, beretika, dan berdaulat di tanahnya sendiri. *