Kompleks-kompleks ini tampak dirancang untuk mengurung orang, dilengkapi kamera pengawas, kawat berduri di sekeliling dinding, dan dijaga banyak petugas keamanan yang seringkali membawa tongkat listrik atau senjata api. Para penyintas menyatakan bahwa “melarikan diri adalah tidak mungkin.”
Sebagian besar korban dipikat ke Kamboja melalui iklan pekerjaan palsu di media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Setelah diperdagangkan, mereka dipaksa menghubungi orang-orang melalui platform media sosial dan membangun percakapan untuk menipu mereka. Penipuan itu termasuk hubungan asmara palsu, investasi bodong, penjualan barang yang tidak pernah dikirim, atau membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi secara finansial, yang dikenal sebagai pig-butchering.
Semua kecuali satu dari para penyintas yang diwawancarai merupakan korban perdagangan manusia, dan semuanya mengalami kerja paksa di bawah ancaman kekerasan. Dalam 32 kasus, Amnesty menyimpulkan bahwa para penyintas mengalami perbudakan sesuai definisi hukum internasional, di mana pengelola kompleks memiliki kontrol seolah-olah menjadi pemilik mereka. Beberapa juga mengatakan telah dijual ke kompleks lain atau menyaksikan orang lain dijual. Banyak pula yang diberi tahu bahwa mereka memiliki “utang” yang harus mereka lunasi dengan bekerja. ***