“Biasanya dalam satu hari 50 speed boat masuk (Piaynemo). Karena adanya informasi soal tambang, hari ini tak sampai 20 speed boat,” tutur Joshias, seperti dilansir dari Antara, Selasa, 10 Juni 2025. Dia tidak bisa mengira-ngira penurunan jumlah wisatawan. Tapi, pada hari-hari biasa atau sebelum isu tambang nikel di Raja Ampat mencuat, jumlah wisatawan bisa mencapai 500-1.000 orang per hari.
Joshias tidak hanya khawatir terhadap pencemaran laut akibat kehadiran tambang nikel. Lebih dari itu, ia takut jika tambang nikel di Pulau Gag mendorong pulau-pulau lain di kawasan Raja Ampat dijadikan area tambang. Ketika pulau-pulau di dekat Piaynemo menjadi sasaran para penambang nikel, tidak ada lagi lautan jernih yang menjadi daya pikat gugusan kepulauan tersebut.
Kekhawatiran itu adalah munculnya aktivitas tambang di pulau-pulau lain di Raja Ampat, salah satunya Pulau Batang Pele. Jarak dari Piaynemo ke Batang Pele kurang-lebih 30 kilometer, 10 kilometer lebih dekat dibanding ke Pulau Gag.
Timothius Mambraku, pengusaha penginapan di Pulau Manyaifun, tegas menolak tambang nikel di Batang Pele karena merugikan Manyaifun sebagai destinasi para wisatawan menginap. Dia menuturkan penolakan tersebut menuai perlawanan dari kubu yang mendukung perusahaan tambang hingga menimbulkan perselisihan yang memicu konflik di masyarakat.