Pasal 42 UU 30/2002 semula hanya berbunyi, “KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
MK memutuskan pasal itu bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sehingga ditambahkan frasa penegasan pada bagian akhir yang berbunyi, “Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”
Pada pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan persoalan dalam perkara korupsi yang melibatkan unsur sipil dan militer, atau dikenal juga dengan istilah korupsi koneksitas, bersumber dari penafsiran yang berbeda-beda di antara penegak hukum terhadap rumusan Pasal 42 UU KPK.
Padahal, menurut MK, jika ketentuan pasal tersebut dipahami secara gramatikal, teleologis, dan sistematis, seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum bahwa KPK berwenang mengoordinasi dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi dari unsur sipil dan militer.
Tanggapan Komisi Antirasuah
Adapun Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengapresiasi MK yang menegaskan wewenang KPK dalam mengusut kasus korupsi di ranah militer hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah).