“Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini, kan, makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama Dewan Pers, maka keluarlah ide revisi UU Penyiaran ini,” ujar Farhan.
Dia menambahkan risiko apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital dan tidak mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Pada tahap ini, Dewan Pers tak punya kewenangan atas lembaga tersebut.
“Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh misalkan saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia karena tidak terdaftar di Dewan Pers, kira-kira begitu,” kata Farhan.
Draf revisi UU tentang Penyiaran menuai kontroversi. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS (Standar Isi Siaran) memuat larangan mengenai:…(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. (***)