Dia berpendapat, keputusan partai untuk menonaktifkan kadernya tak lebih dari upaya menghindari kritik publik terhadap eksistensi partai. Sebab, dalam aturan perundang-undangan tidak diatur adanya frasa penonaktifan melainkan pemberhentian sementara, melansir Tempo.com.
Ketidaktegasan partai, kata dia, justru bakal berekses pada makin geramnya publik. Alasannya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020 tak mengatur ihwal penonaktfian. “Secara konsekuensi hukum tidak ada. Artinya, mereka yang dinonaktifkan tetap menerima gaji dan tunjangan,” kata Herdiansyah.
Ia juga menyoroti sikap DPP partai yang dianggap melampaui kewenangan untuk melegitimasi seolah-olah partai melakukan tindakan tegas. “Sekali pun ada keputusan pemberhentian sementara, itu kewenangannya Mahkamah Kehormatan Dewan, bukan partai.” ujar dia. *











