Meski demikian, Berni mengakui celah antara kebijakan dan implementasi masih ada: “akun buzzer yang tidak autentik itu… masih sangat terjadi,” dan memerlukan peningkatan deteksi dan penegakan hukum.
Dari pihak TikTok, Hilmi Adrianto, Head of Public Policy and Government Relations Indonesia menyatakan bahwa TikTok juga telah mengatur integritas akun dalam pedoman komunitas. Namun, jika DPR ingin melangkah lebih jauh dengan menjadikan larangan akun ganda sebagai undang-undang, dialog lanjutan harus dilakukan.
Menanggapi usulan legislatif tersebut, Berni menyarankan agar pengaturan akun ganda dimasukkan dalam kerangka Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bukan sekadar UU Penyiaran. Pendekatan ini dianggap lebih relevan dalam menangani kejahatan digital dan misinformasi.
DPR melalui Komisi I sedang menggodok opsi hukum untuk pelarangan akun ganda di media sosial. Meta dan TikTok menyatakan telah memiliki regulasi internal, namun implementasinya perlu diperkuat baik melalui revisi UU Penyiaran maupun UU ITE. Proses pembahasan regulasi ini akan bersifat mendalam dan melibatkan dialog intens antara pemerintah dan platform digital.
Dengan demikian, usulan ini menandai babak baru dalam regulasi media sosial di Indonesia: dari kebijakan internal perusahaan menuju penegakan hukum nasional untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. (***)











