Dia menambahkan bahwa akibat data BPS tidak bisa jadi acuan program bantuan sosial karena masalah keakuratan data membuat pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar untuk identifikasi penerima manfaat.
“Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS” ungkap Bhima.
Lebih jauh Bhima menilai reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional perlu dilakukan. Menurutnya, negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah secara berkala menyesuaikan metodenya seiring dengan perkembangan sosial ekonomi. Indonesia, kata Bhima harus mengikuti langkah serupa.
Kendati demikian, perubahan ini membutuhkan keberanian politik. Bhima mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral. Perpres ini nantinya akan menjadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan.
Namun sayangnya, langkah tersebut hanya mungkin dilakukan jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi. Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika.