Ketua Tim Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Atha Rasyadi mengatakan indikator efektivitas bank sampah seharusnya diukur dari penurunan produksi sampah dan berkurangnya volume yang diangkut ke TPA. Keberadaan bank sampah di area tertentu seharusnya bisa mengurangi angka-angka tersebut.
Meski begitu, Atha sependapat kalau keterbatasan waktu dan anggaran membuat pengelola bank sampah tidak bisa berbuat banyak, sehingga ada risiko sampah yang masuk tetap berakhir di TPA. Itu sebabnya, Greenpeace meyakini prioritas penanggulangan sampah dan sampah plastik adalah mengurangi produksinya di hulu.
“Produksi harus ditekan, material yang problematik juga seharusnya dilarang karena akan sulit juga nanti diserap ke industri daur ulang,” katanya.
Peneliti Organisasi Riset Energi dan Manufaktur di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Heru Susanto menghitung, sampah yang terpilah sejak dari rumah tangga atau hulu sama dengan 50 persen problem sampah teratasi. Untuk itu, dia setuju bank sampah menjadi memiliki peran strategis untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA, mengutip Tempo.co.
Namun, selama ini Heru menilai anggaran pemerintah untuk pengelolaan sampah masih lebih banyak terserap di bagian tengah. Menurut dia, perlu peningkatan dukungan pemerintah di hulu dengan memberikan insentif untuk para RT yang sudah melakukan pilah sampahnya. “Bukan sekadar bagi rata, tapi beri reward, insentif, yang sudah berusaha pilah sampahnya.”