“Karena itu, ide-ide keseharian yang dipraktikkan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan, harus menjadi kesadaran semua pihak sebagai uaya pemajuan demokratis atau kewarganegaraan yang substantif,” ujar Samsul Maarif yang menggawangi Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Karena itu, sambung pria yang akrab disapa Anchu ini, pelaksanaan ICIR 6 di Ambon adalah simbolisasi pemajuan demokrasi berbasis keseharian yang selama ini ditempuh oleh mama-mama dari masyarakat adat dan penghayat kepercayaan leluhur Naulu, Huaulu, Nuniali, dan lainnya di Maluku.
Selaku tuan rumah, Rektor IAKN Ambon Prof. Dr. Yance Z. Rumahur, MA, menegaskan bahwa sinergi antara masyarakat adat, penghayat agama leluhur, kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan menjadi langkah penting agar terjadi perubahan pada kebijakan-kebijakan yang mampu menghapus pelanggaran terhadap hak-hak kelompok rentan dan memajukan yang terpinggrikan.
“Kerja sama IAKN Ambon dengan ICIR Rumah Bersama yang didukung oleh lembaga-lembaga lainnya agar suara dari timur terdengar,” harap Yance.
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti turut menaruh harapan agar melalui ICIR 6 di Ambon ini perempuan adat tidak terus-menerus mengalami kekerasan dan diskriminasi yang berlapis. Dari konferensi ini para akademisi, pemerintah, dan publik dapat belajar dari masyarakat adat bahwa mereka adalah pembentuk identitas jati diri bangsa ini, yang tidak layak hanya dijadikan objek, alat dan kepentingan politik sesaat.