Namun, fakta lain yang tak bisa disangkal adalah masih terjadi ketimpangan dalam penyerapan alumni di dunia kerja. Terdapat disorientasi antara output lembaga dengan prospek yang dijanjikan. Budaya akademik dan karakter mahasiswa pun masih mencerminkan corak lama, yang belum sepenuhnya menggambarkan semangat universitas.
Dari sisi moralitas dan kreativitas kelembagaan, Universitas Islam Negeri semestinya mendorong proses produksi mahasiswa yang tidak hanya berpikir dalam batas-batas standar, tetapi mampu melampaui tembok akademik yang konvensional. Jika tidak, maka secara konsumsi publik, UIN AMSA akan tetap terasa seperti IAIN, atau bahkan kembali pada citra lama STAIN.
Basyir menyoroti sempitnya ruang yang diberikan lembaga kepada mahasiswa untuk berkembang. Agenda-agenda kemahasiswaan masih bersifat tertutup dan tidak membuka akses luas bagi mahasiswa untuk membangun ekosistem intelektual yang sehat dan dinamis.
Kenapa harus kuliah di Universitas Islam Negeri Abdoel Muthalib Sangadji? Apa yang sebenarnya bisa dirinya dan generasi setelahnya dapatkan dari kampus ini?
Jangan sampai terjadi budaya “investasi bodong” dalam dunia pendidikan tinggi Islam di Maluku. Catatan ini bukanlah bentuk penolakan terhadap kehadiran UIN AMSA, tetapi refleksi kritisnya sebagai alumni yang peduli terhadap masa depan lembaga ini. (AM-29)