Melalui penyesuaian dan penambahan nama, mereka sekaligus melakukan pendekatan kultural dan pendekatan kebudayaan agar masyarakat semakin dekat dengan mereka.
“Bahwa Pramono Anung itu ya Pramono Anung bukan Pramana Anung. Kalau Rano Karno itu ya Si Doel. Melekat dalam hati dan pikiran warga Jakarta. Jadi, ini bagian dari strategi itu,” ucapnya.
Menurut Ujang, praktik seperti itu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap elektabilitas. Namun, dalam konteks Pramono Anung-Rano Karno, semua harus dilihat lebih lanjut. Ada banyak faktor untuk mendongkrak elektabilitas, salah satunya dengan mengandalkan popularitas yang sudah ada pada nama beken seperti Si Doel.
“Jadi ini memang praktik untuk menaikkan elektabilitas. Sama dengan Komeng di Pileg 2024,” katanya.(***)