Titi menjelaskan, proses PAW diatur dalam Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3. Mekanismenya dimulai dari usulan resmi partai kepada pimpinan DPR, kemudian diteruskan kepada presiden.
Presiden lantas mengeluarkan keputusan presiden untuk memberhentikan anggota DPR yang bersangkutan sekaligus menetapkan penggantinya, yakni calon legislatif dengan suara terbanyak berikutnya di daerah pemilihan yang sama pada pemilu terakhir.
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan istilah penonaktifan tidak bisa disamakan dengan pemberhentian sementara. Herdiansyah menjelaskan, merujuk pada Undang-Undang MD3 dan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020, istilah yang sesuai adalah pemberhentian sementara, bukan nonaktif. “Masalahnya, ini tidak lahir dari otoritas partai politik. Jadi, tidak bisa partai tiba-tiba memberhentikan sementara kepada DPR,” ujar Herdiansyah.
Herdiansyah juga curiga alasan NasDem, PAN, dan Golkar menggunakan istilah nonaktif hanya akal-akalan meredam kritik terhadap partai. Sebab, kata Herdiansyah, pemberhentian sementara hanya bisa dilakukan apabila anggota DPR terlibat hukum atau berstatus terdakwa, baik untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas ataupun menjadi terdakwa dalam tindak pidana khusus. “Baru itu bisa dilakukan pemberhentian sementara, bukan penonaktifan,” tuturnya.










