Lebih lanjut, Roni menekankan bahwa lagu “Ina Masayane” mengandung nama-nama sakral seperti soa, kepala soa, piku, lesi, tuni, mahu, dan wae yang tidak boleh sembarangan diucapkan.
Roni khawatir penggunaan tradisi sakral ini dicampuradukkan dengan kepentingan lain. Ia mengingatkan agar tidak ada agenda terselubung antara pemerintah kota (Pemkot) dan KPN Batu Merah.
“Jangan sampai adat kami dirusak atau dicampur dengan acara yang bersifat pribadi atau kelompok. Jangan sampai ada kepentingan terselubung,” tegasnya.
Roni menilai KPN tidak memahami adat dan adab, tercermin dari tidak dilibatkannya tokoh masyarakat, kepala dati, kepala soa, imam masjid, dan tokoh pemuda dalam rapat persiapan.
Padahal, menurutnya, KPN seharusnya mengundang tokoh-tokoh tersebut, terutama karena acara ini melibatkan masjid.
Meski mendukung pengukuhan Wali Kota, Roni menyayangkan tindakan KPN yang dianggap tidak menghargai adat dan istiadat.
Ia mencontohkan rapat internal yang diadakan tanpa melibatkan tokoh pemuda dan kepala dati.
“Kami imbau Wali Kota, tolong sampaikan ke KPN agar merangkul semua elemen masyarakat. Ini melemahkan Negeri Batu Merah sebagai negeri adat,” ujarnya.
Roni memperingatkan, jika aspirasi masyarakat tidak didengar, ia akan melakukan orasi sebagai bentuk perlawanan, meski tidak memiliki marga adat. Ia menegaskan bahwa sebagai keturunan tahalua dan waelulu, ia memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi.