KOMISI Pemberantasan Korupsi mesti menggali lebih dalam kasus suap yang menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara Topan Obaja Putra Ginting. Penelusuran tidak boleh berhenti pada pejabat teknis semata. Jangan sampai KPK hanya menangkap ujung “tangan” yang kotor, sedangkan “lengannya” malah dicuci bersih.
Dugaan korupsi berjemaah mencuat sejak operasi tangkap tangan KPK pada 26 Juni 2025. Selain menangkap Topan, KPK menciduk dua anak buahnya serta dua kontraktor—yang kebetulan merupakan ayah dan anak. Mereka diduga mendapat proyek senilai Rp 231,8 miliar tanpa melalui proses tender yang semestinya.
Dilansir dari Tempo.co, yang menarik, pola suap kali ini agak berbeda. Uang untuk Topan belum diserahkan karena rencananya baru dibayarkan setelah proyek selesai. Biasanya suap dibayar di muka agar urusan cepat beres. Namun tampaknya kepercayaan di antara para tersangka sudah sedemikian erat sehingga nota kontan pun tak diperlukan.
Ini jelas bukan penyimpangan administratif belaka. Penyidikan KPK seharusnya difokuskan pada kemungkinan adanya sistem patronase dalam distribusi proyek-proyek publik di Sumatera Utara. Terlebih, Topan bukan kepala dinas biasa. Ia dikenal luas sebagai orang kepercayaan Gubernur Sumatera Utara Muhammad Bobby Afif Nasution—yang juga menantu mantan presiden Joko Widodo.