Sentilan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan terhadap para pengamat yang disebutnya “membuat keruh” dan imbauannya agar demokrasi tidak merusak budaya sopan santun dinilai sebagai “pembunuhan karakter” dan menunjukkan pemerintah semakin antikritik.
Selepas pertemuannya dengan Jokowi di Solo, Jawa Tengah pada Senin (31/03), Luhut menekankan pentingnya menjaga sopan santun dalam berdemokrasi.
Dia juga mengeklaim adanya pengamat-pengamat yang berbicara “tanpa data yang jelas” dan “membuat keruh” sehingga mempersulit pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Namun menurut Guru Besar di Departemen Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Amalinda Savirani, gaya “sopan santun” yang dimaksud penguasa justru menghilangkan pesan utama.
“Yang dianggap ‘tidak sopan’ di sini adalah bicara langsung ke inti persoalan,” ujarnya.
Sementara, pakar komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin, mengatakan, sebaliknya budaya “sopan santun” sejatinya belum ditunjukkan sejumlah pejabat pemerintahan, dikutip dari BBC Indonesia.
“Sebagai contoh, misalnya ungkapan ‘Ndas-mu’ [oleh Presiden Prabowo di depan umum], komentar kepala babi ‘dimasak saja’ [oleh Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, tentang kepala babi yang dikirim ke redaksi Tempo], dan sebagainya. [Semua ini] belum mencerminkan hal tersebut,” kata Silvanus.