Ketiga, dia menilai perluasan peran TNI dalam Pasal 47 UU TNI berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan sejumlah regulasi lain soal ruang digital dan keamanan siber. Beberapa di antaranya yakni UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan RUU Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber.
Keempat, SAFENet menilai perluasan jabatan sipil TNI terkait ruang siber menjadi ancaman bagi supremasi sipil. Revisi tersebut membuat prajurit aktif bisa menjabat di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). “Jika prajurit TNI menduduki jabatan strategis di BSSN, independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan bisa terdistorsi kepentingan militer,” ujar dia.
Sehingga, SAFEnet dan jaringannya meminta agar pemerintah dan DPR menghapus ketentuan-ketentuan yang melegitimasi militerisasi ruang siber. Termasuk, kata Nenden, perluasan operasi militer selain perang atau OMSP yang membuka peluang TNI menangani ancaman siber tanpa cakupan serta batasan yang jelas.
Dia menyoroti draf final revisi UU TNI pada Pasal 7 ayat (2) b mengenai OMSP. Terdapat perluasan fungsi TNI untuk membantu menanggulangi ancaman siber. Menurut dia, rumusan ini bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber.










